Langsung ke konten utama

Menjual Potongan Rambut Termasuk Bisnis yang Menggiurkan, Apa itu Boleh?

Menjual Potongan Rambut Termasuk Bisnis yang Menggiurkan, Apa itu Boleh?
Anakpondok.com - Menjual Potongan Rambut Termasuk Bisnis yang Menggiurkan, Apa itu Boleh? 

Menjual potongan rambut yang panjangnya di atas 50 cm ke sebuah pabrik Wig akan dihargai lebih dari satu juta rupiah per kilogram. Pendapatan yang tidak sedikit untuk ukuran bisnis ‘sampah jasa potong rambut atau salon’. Bisnis ini pernah menjadi trend di Indonesia setelah pemberitaannya diangkat secara massif oleh media elektronik. Namun, sebagai umat Islam tentu lebih mengedepankan asas syariat, apakah menjual potongan rambut itu dibenarkan oleh syariat?

Pada dasarnya, Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan manusia yang diposisikan sebagai makhluk yang paling mulia di antara makhluknya yang lain.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’: 70)


Dari ayat inilah para ulama fikih memahami bahwa karena manusia itu sifatnya ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla yang dimuliakan, maka tidak boleh menjual atau mengambil manfaat bagian tubuh yang terpisah darinya. Termasuk dalam hal ini adalah menjual potongan rambut. Meskipun, potongan rambut manusia kategorinya benda yang suci.

وَاتّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى عَدَمِ جَوَازِ الْاِنْتِفَاعِ بِشَعْرِ الآدَمِيِّ بَيْعاً وَاسْتِعْمَالاً؛ لِأَنَّ الآدَمِيَّ مُكَرَّمٌ

“Para ulama fikih sepakat, tidak boleh mengambil manfaat dari rambut manusia baik untuk dijual atau digunakan kembali. Sebab tubuh manusia itu dimuliakan.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 26/102)

Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Babarti, salah seorang ulama mazhab Hanafi saat mensyarh kitab Al-Hidayah menyebutkan,

(وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ شُعُورِ الْإِنْسَانِ وَلَا الِانْتِفَاعُ بِهَا) لِأَنَّ الْآدَمِيَّ مُكَرَّمٌ لَا مُبْتَذَلٌ فَلَا يَجُوزُ

“(Tidak boleh menjual dan mengambil manfaat dari rambut manusia) karena itu bagian tubuh manusia yang telah dimuliakan tidak dihinakan, maka tidak boleh.” (Al-Inayah Syarh al-Hidayah, Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Babarti, 6/425)


Imam Malik juga pernah ditanya soal ini,

سُئِلَ مَالِكٌ عَنْ بَيْعِ الشَّعْرِ الَّذِي يُحْلَقُ مِنْ رُءُوسِ النَّاسِ فَكَرِهَهُ

“Imam Malik pernah ditanya tentang hukum menjual potongan rambut dari kepala manusia, lalu beliau memakruhkannya.”(Syarh Mukhtashar Khalil lil Kharasyi, Muhammad bin Abdullah Al-Kharasyi al-maliki, 1/83)

Imam an-Nawawi saat menyebutkan pendapat yang menyatakan tidak bolehnya menjual susu ASI, salah satu dalil yang beliau tampilkan adalah adanya larangan menjual potongan rambut dari manusia.

مَا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُتَّصِلًا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُنْفَصِلًا كَشَعْرِ الْآدَمِيِّ

“Suatu organ yang tidak boleh dijual saat kondisinya terhimpun/menempel, tidak boleh juga dijual ketika bagian organ itu terpisah, semisal rambut manusia.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam an-Nawawi, 9/254)

Sementara Al-Bahuti juga menyebutkan larangan memanfaatkan rambut manusia dalam kitabnya, Qasyaful Qina’.

وَلَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُ شَعْرِ الْآدَمِيِّ) مَعَ الْحُكْمِ بِطَهَارَتِهِ (لِحُرْمَتِهِ) أَيْ احْتِرَامِهِ)

“Tidak dibolehkan menggunakan rambut manusia meskipun hukumnya suci. Sebab alasan kemuliaannya.” (Kasyaful Qina’ ‘an Matnil Iqna’, Al-Bahuti al-Hanbali, 1/57)


Lalu, Bagaimana dengan Uang Hasil Menjual Potongan rambut Tersebut?

Setelah seorang muslim mengetahui hukum menjual potongan rambut dari manusia, maka tindakan yang wajib dilakukan selanjutnya adalah bertaubat, kemudian segera beralih profesi dalam mencari rizki.

Terkait dengan uang hasil menjual potongan rambut tersebut, jika sebelumnya memang benar-benar belum tahu hukumnya, maka ia dihukumi berada pada posisi orang jahil yang bertaubat. Sehingga, harta yang menjadi miliknya sebelum ia bertaubat, tetap menjadi miliknya secara sah. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang hukum riba,

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. (QS. Al-Baqarah: 275)

Namun, jika sebelumnya dia telah mengetahui hukumnya tetapi masih saja melanjutkan bisnis menjual potongan rambut karena keawaman dan sedikitnya pengetahuan dia tentang agama, maka harus segera menghentikan bisnis tersebut. Kemudian mengeluarkan harta hasil bisnis itu dengan dibegaikan kepada fakir miskin, untuk membangun masjid, melunasi hutang saudara yang kesulitan dan semisalnya. Ia hanya boleh mengambil sekadar harta yang dia butuhkan saja. Wallahu a’lam. (dakwah.id / Anakpondok.com)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana Cara Hidupmu, Begitulah Cara Matimu

Anakpondok.com - Bagaimana Cara Hidupmu, Begitulah Cara Matimu Bertaqwalah kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dengan sebenar-benarnya! Kalau untuk urusan dunia kita begitu bersemangat, berangkat pagi pulang petang, tapi untuk urusan ketaqwaan kepada-Nya terkadang kita masih lalai cenderung meremehkan. يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kalian mati melainkan dalam keaadan muslim.” Bagaimana kita menyiapkan kematian yang akan mendatangi kita. Sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati, hanya tidak ada di antara kita yang mengetahui kapan kematian itu akan datang. Banyak ayat di dalam al-Quran yang mengingatkan kepada kita. antara lain: QS al-Jumu’ah ayat 8 قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُ

Orang Yang Meninggalkan Shalat Ashar, Apakah Amalnya Akan Gugur?

Anakpondok.com - Orang Yang Meninggalkan Shalat Ashar, Apakah Amalnya Akan Gugur? Pertama: Terdapat ancaman keras terhadap orang yang meninggalkan shalat Ashar dengan sengaja hingga keluar waktu. Imam Bukhari telah meriwayatkan, no. 553, dari Buraiah bin Hushaib Al-Aslamy radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ ، فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُه "Siapa yang meninggalkan shalat Ashar, maka amalnya akan gugur." Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya, no. 26946, dari Abu Darda radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ مُتَعَمِّدًا ، حَتَّى تَفُوتَهُ ، فَقَدْ أُحْبِطَ عَمَلُهُ (وصححه الشيخ الألباني رحمه الله في "صحيح الترغيب والترهيب) "Siapa yang meninggalkan shalat Ashar dengan sengaja hingga habis waktunya, maka amalnya akan gugur." (Dinyatakan shahih oleh Al-Albany rahimahullah dalam Shahih Ta

Perjalanan Rumah Tangga Atikah binti Zaid, Istri Para Syuhada’

Kali ini, kita akan mengupas profil shahabiyah yang memiliki kepribadian yang sangat agung. Beliau adalah Atikah binti Zaid yang sangat terkenal dengan kecantikan, kepandaian, tawadhu’, serta ketaatannya  kepada Allah. Atikah merupakan seorang wanita yang sangat cantik rupawan, seorang gadis yang berasal dari keluarga yang kaya raya. Atikah merupakan putri dari Zaid bin Amr, salah seorang yang menghina berhala-berhala kaum Quraisy pada zaman jahiliyah. Zaid tidak sempat bertemu dengan Rasulullah, tetapi hatinya telah menanti dan mencintai Rasul, hingga Rasulpun melihatnya di syurga. Saudara Atikah juga merupakan ahli syurga ia adalah Said bin Zaid, suami dari fathimah binti Khattab. Atikah telah mewarisi kefasihan, kemampuan bersyair, kelembutan perasaan, ketajaman hati, kesucian jiwa untuk beriman dari ayahnya. Maka tatkala Rasul menyuruh kepada Islam dia langsung menyambut seruan tersebut dan berbaiat kepada Rasul, serta beliau juga ikut serta dalam hijrah. Atikah meni